THE HISTORY of ULEEBALANG KEUDJROEEN PEUSANGAN Bag. Terakhir

Map of Nanggroe Aceh Darussalam

Map of Kab. Bireuen inset Ampon Chik Peusangan & Grandson

Pengantar penterjemah (Syamaun Peusangan):

Bagian ketiga (terakhir) ini bercerita dari tahun 1899 hingga akhir laporan mengenai daerah Peusangan ini selesai dibuat di Koeta Radja pada tanggal 14 Mei 1901. Ada 3 kebijakan baru yang diambil oleh Gubernur Jenderal Van der Wijck di Batavia pada tahun 1898. Pertama, memberi wewenang bagi sebuah ekspedisi untuk menyerang dan memburu para pemimpin perang sampai ke dalam Pidie dan kemudian hingga daerah bawahan (Onderhoorigheden). Dengan demikian Belanda meninggalkan prinsip lama bahwa wilayah penaklukan dan kendali langsung terbatas pada daerah kantong (geconcentreerde linie) di Aceh Besar. Kemudian Snouck Hurgronje diangkat menjadi Penasihat untuk Urusan Penduduk Asli dan Arab dan menjalankan tugas untuk merumuskan kebijakan di Aceh. Akhirnya, Van Heutsz diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Aceh.

Sebuah program instruksi yang rinci untuk Gubernur sekarang dirumuskan oleh Snouck Hurgronje. Hal-hal penting yang baru di sini adalah tidak boleh ada perundingan dengan keluarga Sultan atau ulama; pastikan tidak ada bagi Teuku Umar dan para pemimpin perang lainnya tempat berlindung yang aman dimanapun di Aceh; pemilikan senjata api oleh orang Aceh adalah melanggar hukum; dan barangkali paling penting, tidak boleh ada rumah dibakar oleh pasukan Belanda, dan juga tidak boleh ada perbekalan yang diambil dari rakyat tanpa membayar penuh. Hukuman bagi orang yang jelas-jelas tidak mau bekerja sama dengan Kompeuni adalah denda bagi uleebalang atau kampung bersangkutan. Kenyataan bahwa tuan Senot (panggilan orang Aceh) adalah cendekiawan terkemuka di dunia mengenai Islam, juga bukan seorang serdadu, yang kemudian menyarankan kebijakan tidak kenal ampun terhadap kaum ulama menghasilkan dukungan luas bagi kebijakannya itu.

Joannes Benedictus van Heutsz (1851-1924) dikirim ke Indonesia sebagai Letnan Dua pada saat perang Aceh pecah, dan bertugas di Aceh pada 1874-1876, 1879-1881 dan 1889-1891. Van Heutsz adalah seorang perwira yang penuh energi dan penaik darah, dengan rasa percaya diri yang tidak mengenal batas mengenai kemampuannya sendiri dan kemampuan pasukannya. Ia kembali dari cuti di Belanda pada tahun 1895 untuk memangku jabatan komandan wilayah Pantai Timur Sumatera, sebelum kembali ditugaskan di Aceh sebagai komandan pasukan di Indrapuri pada tahun 1896, atas permintaan dari Snouck.

Keputusan keputusan di atas, termasuk tindakan militer yang tegas dan sesedikit mungkin menghindari ekses yang merugikan rakyat banyak (dalam term sekarang: battle to win “hearts and minds”) menandai awal dari akhir perang Aceh. Mulai dari ekspedisi Pidie yang menentukan dan penaklukan Keumala pada bulan Juni 1898, Van Heutsz mengejar Polem dan Daud di sepanjang pantai utara sampai-sampai ke daerah Pasai dan bahkan ke daerah pegunungan terpencil di Tangse, di belakang Pidie. Teuku Umar dijebak dan dibunuh dekat Meulaboh pada bulan Februari 1899, Sultan Daud menyerah secara sukarela pada bulan Januari 1903, dan Panglima Polem menyerah pada bulan September. Pada akhir tahun 1903 administrasi uleebalang yang stabil ditempatkan di bawah kendali Belanda dan perlawanan yang masih tersisa, meski tetap masih sangat kuat, dilancarkan hanya oleh kaum ulama.

Bagian 3: 1899 - 1901

Setelah pasukan Belanda meninggalkan Peusangan dan kembali ke Lho’ Seumawe, T. Tji yang dikenai denda 50,000 dollars, tetap tinggal di dataran tinggi dan menetap di daerah Tjob Pi, yang diberinya nama Daroj-aman, “Zetel der Veiligheid” (penterjemah: Tempat Aman). T. Moeda Tji yang menerima semua penghasilan dan kekuasaan T. Tji, memanfaatkannya untuk menguasai pemerintahan di dataran rendah daerah sebelah Timur dari Peusangan. Hal ini tidak terlalu sukar, karena penduduk merasa senang telah terbebaskan dari ulebalangnya yang suka berperang dan berubah-pikiran tersebut. Sekalipun T. Tji berusaha terus untuk kembali turun gunung, T. Moeda Tji berhasil menggagalkannya, dengan membuat benteng benteng di Gle Sabil dan bukit bukit sekelilingnya. Beberapa kali T.Tji mencoba untuk menyerah ke Pemerintah, tetapi beliau tetap menolak terhadap persyaratan untuk melapor (penterjemah: dalam bahasa Belanda “melden”, kadang disebut oleh orang lokal dengan “mel”) ke Lho’ Seumawe. Barulah pada tanggal 12 Juni 1899, ketika Gubernur Sipil dan Militer lengkap dengan rombongan pasukan yang sedang menuju daerah Pase’ dari Pidie singgah di Peusangan, T.Tji dengan didampingi T. Mahradja Djeumpa (yang tetap berhubungan baik secara rahasia dengan beliau), secara tiba-tiba menyampaikan penyerahan dirinya di markas Gloempang Pajong. Kepadanya masih diajukan tuntutan untuk menyerahkan diri ke Lho’ Seumawe, untuk itu beliau diharuskan dua hari kemudian untuk datang ke Koeala Radja untuk menumpang kapal pemerintah “Gier” yang akan membawanya ke Lho’ Seumawe, dimana beliau dapat membicarakan permasalahan mengenai daerah kekuasaannya.

Setelah permintaannya agar persyaratan ini ditiadakan atau diundurkan ditolak, beliau berjanji akan menurutinya. Sekalipun demikian, secara diam diam pada malam diantara 13 dan 14 Juni, beliau pergi kembali ke gunung, dengan meninggalkan pesan, bahwa beliau akan kembali lagi dalam tiga hari. Tentu saja janji ini tidak pernah ditepati, sehingga Gubernur Sipil dan Militer menganggap langkah T. Tji tersebut sebagai tindakan permusuhan.

Langkah T. Tji ini kembali menunjukkan sikapnya yang berubah-ubah dan keras kepala serta pengertiannya yang kurang, sehingga kadang kala beliau melakukan tindakan karena keinginan sesaat, tanpa memperhitungkan sebelumnya akibat yang akan ditimbulkan. Kenyataan bahwa Gubernur tetap dengan persyaratan bahwa beliau harus menghadap ke Lho’ Seumawe, dan kekecewaan karena beliau diterima dengan dingin dan bukan dengan tangan terbuka sesuai yang diharapkan, menyebabkan T. Tji merasa yakin bahwa dibawah pimpinan pemerintah sekarang, beliau harus tunduk pada keinginan kita dan bukan sebaliknya seperti selama ini terjadi. Daripada memerintah dibawah tekanan kita, dia memilih untuk menikmati kebebasannya di pegunungan dari daerah kekuasaannya.

Setelah pelariannya pasukan pemerintah yang ada bergerak segera ke Awe’ Geutah dan membuat markas disana, untuk melakukan patroli dari sana dan mencoba menangkap T. Tji. Sekalipun Daroj Aman juga dikunjungi, rombongan tidak menemukan T. Tji. Dari sisi penduduk di daerah pegunungan, pasukan menerima perlawanan walaupun tidak begitu besar. Setelah beberapa hari kembali pasukan harus meninggalkan Peusangan, karena keadaan di daerah Pase’ membutuhkan kehadiran mereka.

T. Mahradja Djeumpa dan T. Moeda Tji, yang tak lama kemudian datang ke Lho’ Seumawe, sementara diserahkan tugas untuk masing masing mengurus daerah sebelah barat dan timur dari Peusangan.

T. Tji kembali ke Tjot Pi beberapa waktu setelah pasukan pemerintah meninggalkan Peusangan, dimana pada bulan September T. Moeda Tjoet Lateh dari Meuredoe (putranya yang bernama T. Mata Sje menikah dengan putri T. Tji yaitu Tjoet Poetroe) bergabung dengan beliau, dan kemudian pada pertengahan kedua bulan Oktober diikuti oleh Calon-Soeltan (penterjemah: Belanda selalu menyebut Pretendent-Soeltan karena beliau belum resmi diangkat), Panglima Po’ Lem dan para pimpinan kelompok perlawanan. Di bulan Nopember, rombongan pasukan pemerintah dikirimkan dari Meureudoe melalui Samalanga ke Peusangan, dimana mereka sudah ditunggu pasukan kelompok perlawanan didekat Tjot Kala, yang akhirnya dapat disingkirkan dari bentengnya. Ketika pasukan perlawanan kembali harus mundur dari Gle’ Riseh setelah pertempuran yang dahsyat dan banyak korban, sebagian dari mereka melarikan diri ke daerah Pase’, sebahagian lagi ke Samalanga, dan T. Tji Seuma’on tetap tinggal di pegunungan dengan pengikutnya dari Peusangan.

Sebahagian kecil pasukan pemerintah tetap tinggal di Peusangan dan bermarkas di Tjot Pi, untuk mempersulit musuh mengumpulkan makanan dari dataran rendah, dan sekarang secara terus menerus berpatroli mencari T. Tji dan pengikutnya di pegunungan. Tidak banyak lagi ditemukan perlawanan. Dalam salah satu pertempuran, terbunuh pula T. Oeleebalang Baro yang namanya telah disebutkan sebelumnya, yang setelah pelariannya dari Kroeeng Geukoeeh menjadi Panglima prang dari T. Tji.

T. Tji juga tidak terbiasa dengan kehidupan yang sangat melelahkan untuk menghindar dari patroli terus menerus oleh pasukan pemerintah. Akibat semua kesulitan tersebut, beliau akhirnya meninggal dunia karena sakit jantung yang telah lama dideritanya di awal bulan Februari 1900. Setelah ini pemerintah merasa tidak ada lagi alasan untuk menduduki Tjot Pi, sehingga pasukan ditarik dari daerah tersebut.

Dengan wafatnya T. Tji Seuma’on, maka sudah sewajarnya dipilih seorang oeleebalang baru. Ada dua putera beliau yang berhak, dimana yang satu berusia sekitar 10 - 12 tahun, yang satu lagi sekitar setahun lebih muda. Yang tertua, bernama Moehamad Ali Djohor Alam Sjah (penterjemah: kemungkinan salah tulis di dokumen asli, bukan Djohan), yang dilahirkan Potjoet Oenggah, berasal dari Meuredoe dari keluarga ternama, walaupun bukan keturunan langsung oeleebalang. Sementara putra kedua, Moehamad Ali Akbar, yang ibunya bukan saja seorang wanita Peusangan, juga merupakan keponakan dari ayahnya sendiri, yaitu Potjoet Rajeu, atau juga bernama Potjoet Salbiah atau Potjoet Mbong.

Agar dapat menentukan pilihan, Pemerintah perlu bertemu dengan ke empat bersaudara dan kedua janda T. Tji, dimana Potjoet Oenggah dengan anak-anaknya masih berada di pegunungan, sekalipun kepada T. Mahradja Djeumpa dan T. Moeda Tji sebelumnya telah diminta untuk menjemputnya.

Kelihatannya keinginan Pemerintah adalah mengangkat putera tertua menjadi oeleebalang, sementara kedua saudara almarhum T. Tji lebih menyukai agar putera Potjoet Rajeu yang diangkat. Dengan alasan itu, mereka berdua secara sengaja tidak memberitahukan Poetjoet Oenggah keinginan Pemerintah, serta agar beliau kembali ke tempat tinggalnya di Poelo’ Iboeh, tetapi juga meyimpan surat yang ditujukan Pemerintah kepada istri alm. T. Tji tersebut.

Di bulan Maret datang menyerah T. Mata Ije yang menikah dengan puteri T. Tji dengan Potjoet Oenggah; dan karena T. Mahradja Djeumpa dan T. Moeda Tji enggan membantu, Pemerintah meminta T. Mata Ije untuk menjemput Potjoet Oenggah dari pegunungan dan membawanya kembali ke Poelo Iboeh. Hal ini dilaksanakannya dengan segera, karena pada awal April T. Mata Ije membawa ke Lho Seumawe berita, bahwa tugasnya telah dilaksanakan.

Selain alasan di atas, masih ada alasan mengapa T. Mahradja Djeumpa dan T. Moeda Tji tidak menginginkan kembalinya Potjoet Oenggah dari pegunungan. Setelah meninggalnya T. Tji, mereka berdua lah yang menguasai kepemilikan T. Tji yang masih cukup banyak, dan T. Mahradja Djeumpa melaporkan kepada Pemerintah bahwa hal itu terlaksana melalui Panglima Po Lem, walaupun kemudian terbukti bahwa beliau pada saat tersebut tidak pernah berada di Peusangan. Seandainya terjadi pertemuan antara Potjoet Oenggah dengan Pemerintah, mereka berdua takut semua rahasia ini akan terbuka. Menurut mereka sangat penting untuk menggagalkan pertemuan tersebut, itulah sebabnya pada tanggal 14 April mereka bersama dengan istri-istri dan anak-anak mereka melarikan diri ke pegunungan, serta memaksa Potjoet Oenggah dengan kedua puteranya untuk menemani mereka. Kepada Pemerintah mereka memberi alasan ketakutan mereka akan ditangkap, karena dianggap bertanggung jawab terhadap jatuhnya senjata karaben otomatis (repeteer karabijn) ke tangan musuh di Koeala Radja.

Kepada pimpinan bersama Peusangan - - keempat saudara laki-laki almarhum T. Tji - - diperintahkan untuk menghadap Pemerintah beserta kedua janda dan putera-putera oelebalang yang telah wafat tersebut untuk membicarakan dan mengatur penggantian radja.

Hanya satu dari keempat orang tersebut - T. Moeda Peusangan - yang memenuhi perintah tersebut. Kedua saudara yang lebih tua tetap berada di pengungsian di pegunungan, dan mengizinkan kedua janda T. Tji beserta putera-putera mereka pergi ke Lho Seumawe. Saudara laki yang kekempat, yang tidak pernah berurusan dengan pemerintahan, juga ikut pergi.

Tidak lama setelah itu T. Moeda Tji dengan perantaraan oeleebalang Gloempang Doewa mencoba kembali, tetapi kemudian karena masih merasa takut tidak melaksananakannya.

Pada bulan Juli 1900 datanglah Calon Sultan dari Daerah Pase ke Peusangan (pent: Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir atau Sultan ke 35. Sultan Daud dinobatkan menjadi Sultan di Masjid Indrapuri pada tahun 1874 sampai menyerah kepada Belanda pada tanggal 10 Januari 1903. Oleh Belanda dia disebut sebagai Pretendent-Soeltan = Calon Sultan, karena menurut Belanda kesultanan telah berakhir di 1874). Kedatangan ini sudah ditunggu oleh T. Mahradja Djeumpa dan T. Moeda Tji. Ketika beliau setelah tertahan beberapa hari di Peusangan dan Peudada, bergerak menuju Samalanga, mereka tak lama kemudian juga mengikutinya, dengan juga membawa Potjoet Rajeu dan Potjoet Oenggah beserta putera-putera mereka. Di sana, oleh Calon Sultan, putera tertua Potjoet Oenggah diangkat menjadi T. Tji Peusangan dan putera Potjoet Rajeu menjadi Panglima Tji.

Setelah itu, saudara laki-laki almarhum T. Tji, janda dan putera-putera nya semua kembali ke Peusangan. Beberapa bulan kemudian, setelah memikirkan kembali segala akibatnya, mereka menyesali tindakan mereka.

Pada tanggal 31 Oktober 1900, T. Mahradja Djeumpa juga datang menyerahkan diri dengan sukarela. Beliau ditahan di Lho Seumawe, dan dari sana mencoba memanggil saudara saudaranya serta janda dan putera almarhum T. Tji, agar urusan di Peusangan dapat diatur oleh Pemerintah. Usaha ini juga tidak berhasil karena penolakan T. Moeda Tji, yang mempunyai hubungan yang kurang baik dengan T. Mahradja Djeumpa dan T. Moeda Peusangan. Ketika di bulan Februari 1901 dalam rangka ekspedisinya dari Samalanga pasukan mengunjungi Peusangan, T. Moeda Tji dengan perantara oelebalang Gloempang Doewa datang melapor (aanmelden = ‘mel’), setelah pasukan berangkat kembali dan Peusangan hanya diduduki oleh sebagian dari batalyon Infanterie ke 3, serta kepada beliau dijamin tidak akan ada penahanan.

Memenuhi tuntutan sebelumnya, maka T. Mahradja Djeumpa, T. Hadji Radja Moeda, T. Moeda Tji, T. Moeda Peusangan, Potjoet Rajeu, Potjoet Oenggah dan kedua putera tertua almarhum T. Tji diberangkatkan ke Koeta-Radja, dimana mereka pada tanggal 2 April dengan didampingi oleh T. Bentara Istia Moeda dari Gloempang Doewa dikumpulkan di rumah Gubernur Sipil dan Militer. Sekalipun T. Hadji Radja Moeda adalah yang tertua, tetapi beliau tidak berminat mengurusi pemerintahan. Oleh sebab itu diangkatlah T. Mahradja Djeumpa sebagai “acting” oeleebalang Peusangan sampai usia dewasa dari kedua calon oeleebalang yang akan ditetapkan kemudian.

Siapa diantara kedua putera T. Tji yang akan ditetapkan sebagai oeleebalang, masih belum ditentukan, dan akan ditentukan dari kemampuan serta kecocokan kedua calon. Pada saat ini mereka berada di Koeta Radja bersekolah pada “inlandsche school” (HIS = Holland Inlandsche School).

Kemudian ditentukan pula, bahwa T. Mahradja Djeumpa akan memerintah bahagian barat dari Peusangan, sementara bagian timur diberikan pada T. Moeda Tji.

Setelah para pimpinan dan penduduk Peusangan - kecuali sekelompok orang di Awe Geutah - tidak lagi bermusuhan dengan tentara kita, serta sejak pertengahan 1898 telah membayar denda sebesar $ 60,000, maka ditiadakanlah pajak import / export.

Dengan selesainya pengaturan terhadap daerah Peusangan, maka operasi militer dihentikan, dan pada pertengahan April dikirimkanlah pasukan kembali ke Atjeh Besar; untuk patroli dan perlindungan pimpinan sementara cukup ditinggalkan 6 brigade pasukan marsose di Peusangan.

Di bawah pimpinan oeleebalang sebagai pemimpin puncak daerah Peusangan dipimpin oleh beberapa pimpinan menengah, di antaranya para “toeha-peuet” dan “oeleebalang nam”, yang selanjutnya membawahi para peutoewa, keutji dan panglima.

Para toeha peuet:

  • T. Keudjroeen Moeda dari Pante Ara
  • T. Hakem dari Matong
  • T. Hakem Tji dari Raja
  • T. Keudjroeen Koeala dari Boegah

Menurut pengakuan dari sisi Gloempang Doewa, Boegah di masa lalu merupakan bagian darinya dan T. Keudjroeen Koeala pada waktu itu adalah satu dari toeha peuet dari Gloempang-Doea. Pengakuan ini tentu saja ditolak oleh pihak Peusangan.

Para oeleebalang-nam:

1. T. Bentara Peukan dari Djangka
2. T. Keudjroeen Seurawa dari Langkoeta
3. T. Imeum Rajat dari Meunasah Meutjat
4. Pangoelee Side dari Bajoe
5. T. Hakim dari Roesip
6. Panglima Prang Pasoe dari Oetheuen Gathom

Para toeha peuet adalah Hakim dari daerah, dan persetujuan mereka sangat diharapkan oleh oeleebalang pada saat pengambilan keputusan penting. Mereka sudah ada sejak lama, sehingga menurut pengakuan penduduk lebih tinggi kedudukannya dari para oeleebalang-nam, yang baru saja dibentuk oleh T. Tji Seuma’on. Mereka adalah pelaksana dari perintah-perintah oeleebalang, dan khususnya berfungsi sebagai panglima perang atau pemimpin (komandan) tempur.

Pimpinan utama di bahagian barat Peusangan yang dibawahi oleh T. Mahradja Djeumpa adalah:

  • T. Keudjroeen dari Djeumpa
  • T. Keudjroeen dari Djoele Baroh
  • T. Keudjroeen Toenong dari Poelo Miroe
  • T. Imeum Rajat dari Bireuen

Daerah di Gloempang Doewa yang termasuk tunduk pada oeleebalang Peusangan adalah Leuboe dan Lapehang. Oeleebalang dari Leuboe adalah T. Ri. Lapehan sebaliknya dipimpin oleh 3 peuteuwa, yang masing masing langsung menerima perintah dari Oeleebalang Peusangan.

Mereka adalah:

1. T. Hakim dari Lapehan;

2. T. Moeda Bale dari Blang Koethang

3. T. Keutji Pidie dari Gampong Meuseudjit, yang akhir akhir ini karena usianya yang uzur tidak dapat lagi memegang tampuk kekuasaan, dan perlahan lahan tersingkirkan oleh T. Bintara Blang, yang berasal dari Sawang.

Di daerah Peusangan terdapat sebuah daerah / tanah wakeueh, yang merupakan tempat tinggal merangkap sekolah agama dari suatu keluarga Oelama terkenal T. di Awe Gueutah di gampong dengan nama yang sama. Oelama saat ini dengan gelar di atas adalah T. Seh Mahmoet yang melanjutkan kepemimpinan dari saudara lelakinya T. Tjoet yang telah meninggal pada akhir tahun 1898.

Ada sesuatu yang menarik di sini. Sekalipun kita (orang Belanda) dianggap sebagai musuh “kafir” (kaphe) dan para Oelama berceramah tentang Perang Syahid, tetapi di tahun 1898 T. Tjoet menyampaikan pada T. Tji Peusangan, bahwa seandainya beliau diperangi oleh Pemerintah (Gouvernement), maka perang itu tidak boleh dinamakan perang suci (perang syahid) melawan “orang yang tak percaya” (kaphe). Alasannya, karena T. Tji sendiri terlalu banyak melakukan peperangan dengan alasan yang tidak benar dan hanya untuk kekuasaan saja. Dengan begitu “orang tak percaya” itu memiliki hak pembenaran untuk melakukan peperangan.

Disamping T. Seh Mahmoet yang sudah disebutkan di atas, juga kita temui putera tertua T. Tjoet yaitu T. Dawot yang menggunakan gelar T. di Awe Geutah. Bahkan beberapa bulan yang lalu, seorang pencuri senjata “repeteer karabijn” (senjata ini sangat luar-biasa di zaman itu, karena dapat menembak berulang kali) di Koeala Radja dengan nama T. Sade, ketika tertangkap sebagai pimpinan kelompok penjahat di Tjoenda, dinamai penduduk setempat sebagai T. di Awe Geutah. Hal tersebut terjadi, karena tidak ada orang yang mengenal T. Sade, dan orang hanya tahu bahwa dia berasal dari Awe Geutah.

Disamping T. Seh Mahmoet di Awe Geutah juga ada banyak nama yang dikenal sebagai “alim”. Diantaranya anak-anak dari T. Tjoet yaitu T. Dawot, T. Habbeulah dan T. Hamid, putera T. Seh Mahmoet, T. Tajip, dan seseorang bernama T. Amat atau T. di Bale.

Yang terakhir ini beristrikan putri dari T. Moeda Tji yang meninggal di tahun 1874 atau 1875.

Koeta Radja, 14 Mei 1901

Epilog (penterjemah):

Dua tahun setelah laporan ini dibuat, yaitu di tahun 1903, baik Sultan maupun Panglima Polem juga menyerah. Sekalipun perlawanan masih saja terjadi Belanda menganggap perang Aceh sudah selesai pada tahun 1904, dimana sebagai hadiah besarnya Gubernur Sipil & Militer Aceh, van Heutsz diangkat menjadi Gubernur Jenderal Nederlands Indie ditempatkan di Batavia (Jakarta sekarang).

Sambil menterjemahkan Laporan ini serta mengamati foto foto tua yang ada, saya seakan akan terbawa kembali ke alam lebih seratus tahun yang lalu, ke suatu dunia yang pernah dijalani oleh kakek buyut saya sendiri yang namanya kemudian diberikan orang tua saya kepada saya. Tentunya laporan dan foto foto yang dibuat oleh Belanda ini lebih menampilkan satu sisi cerita saja, yang tentunya adalah sisi pihak kolonial. Sebagai penterjemah, saya tidak berusaha merubah sedikitpun “warna” cerita dari Laporan ini. Penggambaran oleh pihak Belanda terhadap kakek buyut saya yang “suka perang”, “haus kekuasaan”, “tidak dapat dipercaya”, dlsb, saya terjemahkan seperti adanya. Saya yakin, kakek buyut saya, punya alasan tersendiri yang membenarkan sikap sikap beliau di zaman tersebut. Juga terlampir 2 hasil scan dari buku pelajaran IPS kelas 8 dari anak saya, serta buku Perang Kolonial Belanda di Atjeh yang dibuat pada tahun 1977, untuk memperingati 100 tahun Perang Atjeh. Dalam kedua buku tersebut diungkapkan sekilas peran T. Tjhi Peusangan dalam perjuangan di Atjeh.

Yang jelas terlihat adalah bagaimana pimpinan serta rakyat Aceh menolak dominasi Belanda yang mencoba menguasai sekalian “merubah” cara hidup ratusan tahun yang telah dijalani mereka. Tetapi mereka terbentur pada kekuatan militer dan organisasi modern dari pihak lawan, sementara di pihak mereka sendiri tidak pernah ada persatuan yang kuat, setelah Kesultanan Aceh dikuasai dan Sultan beserta pengikutnya bergerilya. Saya percaya juga bahwa masing-masing orang bersikap sesuai dengan zamannya, pendidikan dan lingkungannya sangat menentukan.

Berhubung cerita 3 babak mengenai T. Tji Sjammaoen (T. Tji Peusangan VIII) ini terikat dengan rangkaian cerita mengenai Nek Gam / T. Tji M. Djohan Alamsyah (T. Tji Peusangan IX), menarik juga untuk melihat perbedaan yang ada diantara keduanya, sekali lagi berdasarkan zaman yang berbeda. Di sini saya melihat awal tahun 1900 an, setelah Aceh “ditaklukkan” oleh Belanda, terjadi perubahan yang besar di Aceh dari sisi sikap hidup, pendidikan bahkan cara berpakaian.

Foto di website ini juga memperlihatkan gambar Nek Gam muda (usia 18 tahun) dengan pakaian “ala Barat” nya, sesuatu yang sangat berbeda dengan cara berpakaian orang tuanya sendiri. Juga kebiasaan poligami dari orang tuanya tidak lagi dilanjutkan oleh Nek Gam ataupun anak anaknya. Sesuatu “perubahan” telah terjadi di alam pikiran anak berumur 11 tahun ini ketika pada tahun 1901 dia dibawa ke Koeta-Radja dan disekolahkan di “inlandsche school” di bawah pengawasan seorang Gubernur Militer yang sangat berdisiplin. Dari seorang anak “radja” yang suka berperang, menjadi seorang administrator ulung bagi daerah Peusangan dengan mencakup daerah daerah lain seperti Gloempang Doewa dsb, yang sebelumnya tidak berhasil ditundukkan oleh ayahnya sendiri melalui perang yang berkepanjangan. Alangkah menariknya kalau nanti kita mendapatkan cerita mengenai Nek Gam dari kurun tahun 1901 sampai dengan 1912, ketika beliau diangkat menjadi Oeleebalang / zelf-bestuurder daerah Peusangan, untuk melengkapi terjemahan dari Laporan ini.

Akhir kata, semoga pembaca menikmati artikel terjemahan ini, dan mohon maaf jika ada bagian yang salah atau tidak berkenan di hati pembaca.

Jakarta, 28 Nopember 2008

(T.M. Syamaun Peusangan)

Reference : http://peusangan.wordpress.com

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "THE HISTORY of ULEEBALANG KEUDJROEEN PEUSANGAN Bag. Terakhir"

Anonim mengatakan...

soekarno said ; JASMERAH
JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH