THE HISTORY of ULEEBALANG KEUDJROEEN PEUSANGAN

Foto tahun 1890 diatas kapal uap HAVIK

Pengantar penterjemah: Syamaun Peusangan

Bagian kedua ini bercerita dari tahun 1881 sampai 1898. Di akhir tahun 1880, perang Atjeh dinyatakan berakhir oleh General Karel van der Heijden. Untuk itu dibentuklah daerah daerah kantong (concentratiestelsel) yang diperintah langsung oleh Gubernur Sipil Pruijs van der Hoeven. Daerah diluar zona kontrol ini, disebut dengan Onderhoorigheden, yang diperintah oleh Oeleebalang. Tentera Belanda dikonsentrasikan pada 16 benteng yang satu sama lain dihubungkan dengan jalur kereta api. Susunan benteng tersebut dipertahankan sampai 1893. Jalur kereta ini selalu menjadi sasaran gerilya Atjeh. Di bawah pemerintahan Pruijs van der Hoeven kembali situasi menjadi tak terkendali. Ia berusaha mengurangi pengaruh militer, menaruh agen polisi untuk menjaga perdamaian dan melakukan pendekatan terhadap penduduk setempat. Penyerangan dan pembunuhan terhadap orang Belanda meningkat. Akhirnya ia dipaksa turun dan digantikan oleh Gubernur Sipil dan Militer.

Periode setelah ini didominasi oleh Luitenenant-Generaal Van Heutsz dan peneliti Dr. Christiaan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje datang ke Atjeh di tahun 1891 untuk melakukan penyelidikan atas perintah Pemerintah terhadap situasi sosial, agama dan politik di Atjeh. Hasil penyelidikan ini menghasilkan dua jilid buku “De Atjehers” yang diterbitkan di Batavia di tahun 1893-1894 dengan jumlah total lebih dari 1000 halaman. Menurut Snouck, ada 3 kelompok penguasa di Atjeh, yaitu Sultan, Oeleebalang dan Oelama yang penanganannya harus berbeda. Van Heutsz sendiri mengembangkan taktik marsose (pasukan khusus yang dibentuk tahun 1890), yaitu peperangan dengan menggunakan satuan-satuan kecil yang “mobile” dan dipersenjatai lengkap. Satuan ini terdiri dari tentara Menado (kemudian diikuti oleh orang Ambon dan Jawa) yang dipimpin oleh perwira Eropah. Kesuksesannya berbuah pengangkatannya menjadi Gubernur Sipil dan Militer di Atjeh di tahun 1898.

XVIII. Peusangan (Bagian II: 1881 - 1898)

Di bulan Januari 1881 T. Tji (sebutan untuk T. Tji Seuma’on/ T. Tjhi Sjama’oen, admin) meneruskan kembali peperangan dengan Gloempang Doewa, dan setelah beliau berhasil menundukkan daerah ini, dicaploknya juga dataran rendah Sawang (Blang Panjang) dan Nisam, serta daerah Tjoenda disertai ancaman terhadap Bajoe. Terhadap Pemerintah beliau berusaha tampil sebagai pencinta damai dan menunjukkan iktikad baik, sampai pada tahun 1882 dimana sikap menduanya semakin terlihat, dan menyebabkan pertentangan dengan pemerintah.

Ketika kita (Belanda) pada tahun 1881 menancapkan kekuasaan di Lho’-Seumawe, sejumlah musuh, dibawah pimpinan Habib Paloh membuat benteng di bukit bukit Panggoj dan Paloh, serta dari sana menyerang pulau Lho’ Seumawe dan markas kita. Hal tersebut hanya mungkin terjadi karena restu dari T. Tji, oleh sebab itu kepada beliau diserahkan tuntutan untuk segera membersihkan benteng benteng di perbukitan tersebut. Karena beliau tidak memenuhi tuntutan tersebut, dan karena pemboman terhadap keude Djangka juga tidak membuahkan hasil, maka Pemerintah memutuskan mempersenjatai pimpinan Bajoe, Tjoenda, Nisam dan Sawang serta dilengkapi bahan makanan untuk memerangi T. Tji. Di saat yang sama Peusangan ditutup dari kemungkinan melakukan pengiriman dan pemasukan barang. Hal ini berakibat mundurnya T. Tji hingga ke sebelah barat Gloempang Doewa dan berdasarkan perjanjian yang dibuat dengan beliau pada bulan Maret 1883, daerah terakhir ini juga ditinggalkan dengan kesadaran sendiri.

Sampai dengan penarikan kembali pasukan kita dari Lho’ Seumawe di bulan Oktober 1884, T. Tji tidak lagi menunjukkan permusuhan, walaupun beliau memainkan lagi peranan “mendua” nya dalam peperangan yang dilancarkan oleh Geudong terhadap Blang Me, Bajoe dan Tjoenda.

Di tahun 1885 beliau memulai lagi permusuhan terhadap tetangganya di Timur, dengan dukungan dari Geudong, yang juga sedang bermusuhan dengan Bajoe dan Tjoenda.

Daerah daerah ini, begitu juga Gloempang Doewa serta dataran rendah Sawang dan Nisam, kembali dikuasai beliau; para pimpinannya melarikan diri ke Pantai Timur atau ke dataran tinggi pegunungan dari daerah masing masing. Sementara itu T. Tji menempatkan saudara saudaranya sebagai pimpinan dari daerah yang telah ditaklukkan tersebut, yaitu T. Moeda Tji untuk daerah Tjoenda dan Boeloh, T. Hadji Radja Moeda untuk Blang Panjang dan T. Moeda Peusangan untuk Gloempang Doea.

Juga dengan tetangganya di sebelah barat yaitu Samalanga, T. Tji terus menerus bertengkar. Peperangan diantara mereka terutama disebabkan oleh pertengkaran perbatasan, yang tidak pernah dapat diselesaikan karena tak ada satupun yang mau mengalah. Di tahun 1886 ada terlihat kemungkinan perbaikan dalam hubungan keduanya, ketika pada bulan Oktober tahun itu T. Tji Seuma’on melangsungkan pernikahan dengan adik perempuan T. Tji Samalanga, yaitu Potjoet Miroh Gambang. Tetapi kenyataannya malah sebaliknya, disebabkan pengantin wanita tidak ingin ikut suami barunya, dan berdasarkan beberapa kesalahan persyaratan (formalitas), menginginkan pembatalan perkawinan yang telah diusahakan oleh tantenya Potjoet Meulegoe dengan susah payah.

T. Tji tidak dapat menerima keputusan itu, dan bersiap siap mengunjungi istrinya di Samalanga itu dengan apapun konsekuensinya. Untuk itu beliau pada bulan April 1888 menyiapkan 300 pengikutnya menuju ke sana melalui laut. Disekitar Peudada, pasukannya diserang oleh 3 perahu Samalanga yang dilengkapi persenjataan yang memaksanya mundur.

Kemudian, untuk beberapa lama pertempuran dilanjutkan di pantai, dan kedua pasukan bergantian menduduki benteng satu sama lain di daerah Peudada, walaupun tidak ada satu pasukan pun yang benar benar berhasil menaklukkan lawannya.

Dengan dilaksanakannya peraturan perjalanan kapal di tahun 1892 dan dengan janji penghapusan blokade serta pembukaan pelabuhan Peusangan terhadap transportasi pantai, di bulan Oktober tahun itu, anggota komisi peraturan perjalanan kapal, residen G.A. Scherer, berhasil meminta T. Tji Seuma’on mengembalikan lagi daerah daerah yang telah ditaklukannya di sebelah Timur, sehingga para pimpinan yang syah dari daerah daerah tersebut dapat didudukkan lagi oleh kita (Belanda). Sekalipun demikian hak pajak T. Tji atas barang impor dan ekspor dari Koewala Mane dan Koeala Kroeeng Geukoeeh masih tetap diakui. Hanya saja untuk mencegah kesulitan dikemudian hari, bahagian milik beliau ditetapkan sebesar 1000 dollar per tahun. Dengan ketentuan, bahwa disebabkan kesulitan keuangan dari raja Nisam dan Sawang sebagai akibat peperangan, jumlah di atas akan dibayarkan oleh Gouvernement (Pemerintah).

Sampai dengan tahun 1897 hal itu terus berlangsung, tetapi karena hal hal yang akan disebutkan di bawah ini, dikemudian hari hak T. Tji atas uang tersebut dinyatakan batal.

Di permukaan kelihatannya sikap T. Tji terhadap Pemerintah telah berubah; bahkan beliau juga menyerahkan dua orang bajak laut, termasuk seorang pimpinan kelompok bajak laut Panglima Prang Adjoe, yang tak lama kemudian melarikan diri dari penjara di Koeta Radja dan kembali ke daerah Peusangan. Sekalipun demikian T. Tji tidak mempunyai kesungguhan hati untuk hidup berdamai dengan tetangganya sesuai dengan keinginan pemerintah. Ini terlihat pada tahun 1896, ketika secara diam-diam dia mendukung perlawanan seorang T. Oeleebalang Sjeh terhadap oeleebalang dari Gloempang Doewa.

Tidak lama setelah T. Oleebalang Sjeh, yang terbukti seorang penghianat melarikan diri ke tanah Gajo, T. Tji mulai lagi berpaling ke Samalanga dengan maksud mendukung menantu lelakinya T. Sah Koebat melawan oeleebalangnya, melalui rencana beliau kembali untuk menemui istrinya Potjoet Mirah Gambong, seperti telah diungkapkan sebelumnya.

Sama seperti sebelumnya, melalui dua barisan benteng pertahanan di perbatasan kedua daerah, kedua pasukan saling bertukar tembakan, tanpa berhasil mengalahkan satu terhadap lainnya.

Pemerintah berusaha agar kedua pihak yang bersengketa ini untuk segera kembali ke tempat tinggalnya masing-masing dan menyingkirkan benteng benteng pertahanan di perbatasan. Usaha ini gagal karena tuntutan yang terlalu banyak dari Peusangan dan dari T. Sah Koebat. Ketika mereka kembali diancam dengan penutupan pantai-pantainya, barulah mereka memenuhi tuntutan kita. Juga, mengenai masalah pernikahannya, T. Tji Peusangan dan T. Tji Samalanga, tanpa syarat harus menuruti hasil pengadilan arbitrase, yang terdiri dari 3 orang, dimana 2 dipilih oleh masing-masing mereka, dan yang ketiga dipilih bersama. Sebagai yang mewakili kepentingan Peusangan disebutlah T. Radja Itam dari Geudong, perwakilan kepentingan Samalanga T. Mahradja Mangkoe Boeni dari Lho’ Seumawe, sementara keduanya memilih T. Moeda Oesoeih dari Simpang Oelem sebagai wakil bersama pada pengadilan arbitrase ini.

Di awal tahun 1897 karena takut keputusan pengadilan akan merugikannya, T. Tji Peusangan tiba tiba mengusulkan untuk melepaskan tuntutan atas Potjoet Mirah Gambang sebagai istrinya, asalkan semua biaya yang telah dikeluarkannya sebagai mas kawin dikembalikan, dan Pemerintah juga harus membuat aturan terhadap hubungan antara T. Tji Samalanga dan T. Sah Koebat. Karena melihat tawaran ini sebagai suatu bentuk kompromi dari T. Tji Seuma’on dan satu langkah yang mengantarkan persoalan lebih dekat pada penyelesaian, maka pemerintah menyingkirkan usul pengadilan arbitrase, dan menerima tawaran T. Tji. Tetapi pada akhirnya, sangat sulit bagi T. Tji untuk menerima keputusan yang dihasilkan, dimana dalam persoalan antara T. Tji Samalanga dan T. Sah Koebat tidak semua keinginan T. Tji dapat dipenuhi; terlebih dari pihak Samalanga ditemui kesulitan dalam menentukan jumlah uang yang harus dikembalikan kepada T. Tji Peusangan sebagai ganti rugi. Sebagai akibatnya semakin menjauhlah harapan untuk penyelesaian masalah.

Pada bulan Februari 1898 kembali T. Tji Seuma’on memberikan penawaran yang menarik dengan memisahkan permasalahan antara T. Tji Samalanga dan T. Sah Koebah dengan penyelesaian permasalahan perkawinannya, yang tuntutannya hanyalah pembayaran ganti rugi. Tawaran ini disampaikan dengan harapan agar Samalanga tidak ikut memihak dalam peperangan yang kembali dilancarkan T. Tji Seuma’on terhadap tetangga tetangga di sebelah timurnya, serta tidak mengganggunya dari sebelah barat. Sekalipun sudah tidak ada lagi halangan, tetap juga masalah ini tidak terselesaikan, disebabkan kejadian kejadian di Gloempang Doewa, Sawang, Nisam yang menyebabkan kita terpaksa secara terbuka menyatakan T. Tji Seuma’on sebagai musuh, dan segala perjanjian terhadapnya dibatalkan.

Seperti sudah saya duga sebelumnya, usaha T. Tji untuk meminta Samalanga agar tidak mengganggunya di perbatasan sebelah Barat tidak tercapai.

Dengan mendukung raja-raja Gloempang Doewa, Sawang dan Nisam secara tidak langsung, Samalanga meneruskan sikap permusuhan dengan musuh lamanya, sekalipun sama seperti sebelumnya perang ini tidak berarti banyak.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, perdamaian dengan tetangga di sebelah Timur dari Peusangan juga tidak bertahan lama.

Pada tahun 1892 telah ditentukan bahwa perbatasan antara Peusangan dan Gloempang Doewa dibentuk oleh koewala Tjeureupe, Kroeeng Panjoe dan Gle Mirahpoen, tetapi karena kedua pihak tidak pernah sepakat mengenai letak dari bukit bukit ini, maka kembali lagi mereka “menikmati” kebiasaan lama yaitu pertengkaran perbatasan.

Pada bulan Juni 1897 pertengkaran meningkat, dan sebagai pembalasan terhadap suatu tindakan melanggar hukum oleh T. Bentara Isha Moeda dari Gloempang Doewa, T. Tji Seuma’on menyerang kerajaan tersebut dan menduduki bahagian sebelah Barat, yang terletak antar Kroeeng Panjoe dan Kroeeng Blang Me. Berdasarkan perintah Gubernur, yang putusannya diminta sendiri oleh T. Tji, pada bulan Desember kembali beliau mengosongkan daerah taklukannya.

Disamping itu untuk memenuhi permintaan T. Tji, Gubernur membuat peraturan pengangkutan produk produk dari daerah daerah yang bergantung pada kekuasaan Peusangan yaitu Leuboe dan Lapehan.

Karena daerah tersebut terletak di sebelah selatan Gloempang-Doewa, maka pengangkutannya paling gampang terlaksana melalui Lapong. Untuk itu ditetapkan bahwa pengangkutan seperti ini terus dilaksanakan, dan bahwa produk produk tersebut dapat dikapalkan ke Lho’ Seumawe dengan membawa surat jalan (pas) dari Gloempang Doewa.

Selanjutnya ditetapkan, untuk menutupi kerugian bagian penghasilan (hasilaandeel) beliau terhadap produk produk yang diekspor dari Leuboe dan Lapehan, T. Tji setiap tahun akan menerima 200 dollar dari hasil yang didapat oleh radja Gloempang Doewa. Karena T. Tji segera kembali memulai permusuhan, ganti rugi ini tidak lagi dibayarkan. Didalam perjanjian yang dibuat dengan T. Tji Seuma’on di bulan Oktober 1892, disepakati bahwa para pimpinan yang diangkat oleh Peusangan dan orang-orang dari Peusangan yang telah menetap di daerah taklukkan T. Tji boleh tetap tinggal sekalipun daerah tersebut telah dikembalikan pada raja yang berhak. Sebagai balas jasa terhadap pengakuan dan kepatuhan terhadap raja raja yang berhak ini, raja tersebut juga harus membiarkan mereka dengan tenang dan tanpa diganggu atas kepemilikan mereka atas rumah, tanaman dan milik mereka lainnya.

Sebagai akibatnya, di daerah pantai, yang terletak antara Kroeeng Mane dan Kroeeng Geukoeh, banyak orang orang tinggal, yang dikemudian hari akan memudahkan T. Tji untuk melaksanakan rencana penaklukannya agar lebih berhasil.

Yang terutama dari orang orang tersebut adalah T. Oeleebalang Baro, perwakilan Peusangan di Kroeeng Geukoeh; T. Lateh, kepala dari gampong Tamboen Baroh dan Tamboen Toenong, saudara jauh T. Ri Nisam, dengan siapa dia memiliki ketidak sesuaian; T. Peureudan, putra dari T. Bentara Keumangan, dan cicit dari T. Tji Lampoe Oee yang telah disebutkan sebelumnya; Nja Rajeu Mane, seseorang yang sebelumnya tunduk dibawah oeleebalang Sawang, walaupun tidak menyukainya; T. Noesjah, Keudjroeen dari gampong Lho Iboih, dsb. Bukannya menyesuaikan diri pada kondisi yang baru, orang orang ini malahan tetap berhubungan dengan Peusangan, yang oeleebalangnya masih memberikan instruksi kepada mereka. Sekalipun di tahun tahun pertama mereka masih menjaga ketenangan, lambat laun dengan turut campur serta provokasi dari T. Tji Seuma’on, semangat perlawanan dari mereka lambat laun semakin meningkat dan perlahan lahan terbuka menuju konfrontasi langsung.

Oeleebalang dari Sawang dan Nisam dengan keras juga tidak menyerah begitu saja, dan untuk mengakhiri lawan yang keras juga, oeleebalang Sawang pada bulan April 1897 menyuruh pembunuhan terhadap T. Keudjroeen Noesjah dari Lho Iboeh. Sekalipun telah membayar ganti rugi sebesar 1000 dollar, tetap saja tidak bisa mengehentikan keributan yang ditimbulkan.

Pertengkaran, yang selalu ditunjukkan dengan perampokan, akhirnya semakin meningkat, dan di bulan Februari 1898 pecahlah peperangan.

Setelah para pemberontak menyerang T. Pang Sawang di bentengnya sekitar Keude Mane, iapun menyerang kembali dengan dibantu oleh pimpinan Gloempang Doewa dan Nisam. Serangan tiba tiba dari belakang itu menyebabkan mereka terdesak hingga ke sebelah timur Kroeeng Geukoeeh. Setelah itu persekutuan oeleebalang tersebut saling membagi pendudukan daerah yang telah dibersihkan dari musuh.

Langsung saja T. Tji Peusangan ikut campur dalam peperangan tersebut; didasarkan atas dendam karena memberikan bantuan pada Sawang dan Nisam, diserangnya Gloempang Doewa, dan kembali beliau menguasai daerah antara Kroeeng Panjoe dan Blang Me.

Karena kurangnya pengawasan anggota pasukan T. Ri Nisam yang menguasai sederet benteng pada tepi kiri Kroeeng Geukeueh, pada malam antara tanggal 9 hingga 10 Maret 1898 para pemberontak yang berkumpul di Paloh berhasil secara mengejutkan menguasai benteng benteng tersebut. Selanjutnya kesuksesan tersebut mengantarkan mereka untuk menguasai kembali daerah yang dahulu terlepas hingga sampai ke dekat Mane.

Sekalipun pemerintah berusaha untuk mengatasi pertengkaran ini secara damai, dan juga ada kesan kedua belah pihak akan dapat bekerja sama, tetapi pada sisi pemberontak tidak menerima usulan yang ditawarkan pemerintah. Tambahan lagi mereka secara diam diam dipersenjatai oleh T. Tji Peusangan, dan disela sela perundingan masih meneruskan permusuhan, dimana mereka mendukung orang yang jelas jelas menjadi musuh Pemerintah. Hal ini terbukti dengan terbunuhnya pimpinan gerombolan perampok Panglima Prang Atip dalam pertempuran malam hari di dekat Meuseugit Mane. Bukti keikut sertaan T. Tji didapat T. Ri Nisam dari surat-surat yang ditemukan disekitar rumah T. Oeleebalang Baro, ketika beliau berhasil menguasai Kroeeng Geukoeeh. Surat yang diserahkan pada pemerintah ini menunjukkan bahwa pergerakan ini didukung oleh T. Tji, melalui T. Moeda Peusangan dari Boeboe, dimana untuk mencapai tujuannya beliau bahkan telah menyuap utusan dan penterjemah Pemerintah yang bernama Hamdani. Oleh sebab itu, Pemerintah memutuskan untuk menghentikan perundingan pada bulan Juni, dan menuntut T. Tji agar dalam jangka waktu sebulan membersihkan benteng-benteng yang tersebar di Gloempang Doewa, Sawang dan Nisam, serta menghentikan permusuhan.

Karena terbukti T. Tji berusaha menyalah gunakan jangka waktu yang diberikan untuk mencoba melakukan penekanan yang lebih keras terhadap lawan-lawannya dengan maksud menjatuhkan mereka, maka Pemerintah tidak menunggu lagi jangka waktu tersebut, malahan menyodorkan kepada beliau ultimatum baru pada tanggal 19 Juli yang harus langsung dipatuhi dalam 24 jam.

Setelah jangka waktu tersebut lewat dan tuntutan tetap tidak dilaksanakan serta tidak ada jawaban sama sekali, maka selama 3 hari benteng benteng di Blang Panjang dan Kroeeng Geukoeeh dihujani tembakan oleh pasukan Marinir. Sementara itu oeleebalang Sawang dan Nisam, dengan dibantu oleh pasukan dari Gloempang Doewa, Tjoenda, Bajoe dan Lho Seumawe melakukan penyerangan untuk mencoba menguasai kembali daerah mereka.

Sebagian karena kekurangan persenjataan, sebagian lagi karena penyerangan oleh Peusangan dimana oelebalang daerah ini harus memanggil orang orangnya mundur dari Kroeeng Mane, percobaan ini juga gagal.

Sebagai kompensasi dari kerusakan yang disebabkan oleh tembakan Marinir, kepada T. Tji diberikan kompensasi sebesar 5000 dollar, yang dilakukan dengan mengakhiri pemotongan bahagian hasil beliau dan mengakhiri pajak keluar masuk barang.

Setelah kejadian ini T. Tji tetap semakin bersikap keras terhadap Gloempang Doewa dan Sawang, sehingga kedua kerajaan ini terancam akan dikuasai. Untuk mencegah hal tersebut, maka perlulah pada tanggal 7 Agustus keude Djangka diserang dan gampong Lampoih Rajen, tempat tinggal utusan T. Tji yaitu Hadji Solejman dihancurkan oleh Marinir.

Usaha ini membuahkan hasil yang diinginkan, dimana oeleebalang yang berperang dapat memanfaatkan kejadian di Peusangan ini untuk merebut kembali beberapa posisi penting. Dan sekalipun tidak lama kemudian permusuhan dimulai lagi oleh T. Tji, strateginya adalah mempertahankan daerah yang dikuasainya dan tidak lagi melakukan penaklukan baru.

Berhubung T. Tji telah memutuskan segala macam hubungan dengan Pemerintah, serta sama sekali tidak mematuhi tuntutan untuk meninggalkan posisinya di Gloempang Doewa, Sawang dan Nisam, maka pada tanggal 27 September, pasukan yang dikirimkan dari Pidie menuju Lho Seumawe, yang terdiri dari 2 batalyon infanteri dengan pasukan marsose, kavaleri dan artilleri diarahkan ke Peusangan.

Tanpa melepaskan satu tembakan pun, dataran rendah Nisam dan Sawang ditinggalkan oleh pimpinan dan penduduk Peusangan, sementara di Gloempang Doewa hanya ada sedikit perlawanan musuh. Juga di daerah Peusangan yang dilalui pasukan dari tanggal 2 sampai 7 Oktober 1898 hingga ke Awe Geutah, tidak ada perlawanan yang berarti. T. Tji sendiri melarikan diri ke pegunungan. Kedua saudaranya T. Mahradja Djeumpa dan T. Moeda Tji menyerahkan diri pada Gubernur Sipil dan Militer serta menemani perjalanan pasukan pemerintah di Peusangan.

T. Mahradja Djeumpa sejak beberapa tahun terakhir telah memerintah di bahagian barat Peusangan, dan walaupun ia merupakan bawahan dari abangnya, bukan hanya seperempat hasil keseluruhan Peusangan yang diterimanya sesuai perjanjian tahun 1880, melainkan keseluruhan hasil radja dari daerah yang diperintahnya…..

Reference : http://peusangan.wordpress.com


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "THE HISTORY of ULEEBALANG KEUDJROEEN PEUSANGAN"