THE HISTORY of ULEEBALANG KEUDJROEEN PEUSANGAN Bag. I

Makam T. Tjhik Sjammaoen di Peusangan

Pengantar dari penterjemah T.M. Syamaun Peusangan:

Artikel di bawah saya terjemahkan dari fotocopy dokumen berjudul “Mededelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden”, yang kira kira berarti “Laporan Mengenai Daerah-daerah Takluk di Atjeh”. Fotocopy yang saya terima dari Mr. D.P.Tick ini hanya merupakan sebahagian dari dokumen tersebut (halaman 108 – 144), dan menceritakan daerah Peusangan (nomor 18), diteruskan dengan Gloempang Doewa (19), Sawang, Nisam, Tjoenda, Samalanga, Peudada, dst. Bagian yang akan saya terjemahkan hanya mengenai Peusangan saja, yang laporannya dibuat di Koeta Radja, tertanggal 14 Mei 1901. Penamaan saya sesuaikan dengan dokumen asli, dan disana sini saya berikan komentar penterjemah untuk memudahkan pengertian. Bahagian ini adalah bahagian pertama yang bercerita hingga akhir tahun 1880. Bahagian seterusnya merupakan cerita selanjutnya hingga 1901. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bang Johan untuk memasukkan artikel ini di blog nya. Mudah-mudahan nantinya bisa dilengkapi dengan foto-foto, yang saya sedang usahakan mencarinya dengan bantuan Mr. Tick.

XVIII. Peusangan (Bagian I)

Pada tahun 1182 Hijrah kepala daerah Peusangan, Po Nja Djat diberi hadiah ‘sarakata’ (surat pengakuan) oleh Soeltan Atjeh pada saat itu, dan dengan gelar Keudjroeen Tji Peusangan Seutya Radja diakui sebagai oeleebalang atas daerah kekuasaannya. Berdasarkan sarakata ini batas Timur dari Peusangan dibentuk oleh Koewala Meura’sa, gampong Poenteuet dan Gle’ Meunaleueng. Ketentuan inilah yang kemudian digunakan oleh T. Tji Seuma’on untuk secara terus menerus menyerang daerah Gloempang-Doewa, Sawang, Nisam dan Tjoenda dengan tujuan menggabungkan daerah tersebut dalam kekuasaannya. Kepemimpinan T. Tji Nja Djat dilanjutkan oleh putra keduanya T. Tji Meunasoh; putra tertuanya T. Monga Kasim memiliki kelemahan fisik.

Ketika T. Tji Meunasoh meninggal dunia, adiknya yang kemudian dikenal sebagai T. Tji Nja Kroeeng masih di bawah umur, sehingga yang menjadi oelebalang adalah anggota keluarga lainnya yaitu T. Tji Lampoe Oee. Karena kepemimpinannya yang buruk dan tidak adil, dia kemudian diperangi dan disingkirkan oleh Soeltan; ia melarikan diri ke Blang Panjong, dimana ia akhirnya menetap. T. Tji Nja Kroeeng kemudian memerintah, dilanjutkan oleh putranya T. Tji Moehamat Asan, yang selalu bertentangan dengan adiknya T. Moeda Tji. Dalam peperangan sebagai akibat pertentangan ini, T. Tji Moehamat Asan dikalahkan dan tak lama kemudian beliau wafat, sekitar tahun 1872 M.

Di awal Perang Atjeh, Peusangan dipimpin oleh T. Moeda Tji. Walaupun putra tertua T. Tji Moehamat Asan yaitu T. Tji Seuma’on, kadang dituliskan sebagai T. Tji Sjam Ma’on tidak meneruskan peperangan ayahnya, ia mencoba mendapat pengakuan dari kita (Pemerintah Belanda, penterjemah) sebagai oelebalang. T. Moeda Tji diperkenankan untuk menanda tangani “onderwerpingsacte” (Surat Pernyataan Pengakuan Tunduk pada pemerintah Belanda, penterjemah) pada tanggal 6 Agustus 1874. Ketika beliau wafat beberapa bulan kemudian, beliau digantikan oleh T. Tji Seuma’on yang pada tanggal 2 Maret 1875 menanda tangani Akte Pengakuan Tunduk.

T. Tji Seuma’on adalah seseorang yang haus kekuasaan dan bersikap kasar, dimana karakter pemarah dan keras kepalanya sangat ditakuti bahkan oleh orang-orang di sekitarnya. Masa pemerintahannya merupakan permusuhan tiada henti dengan Samalanga dan Peudada, dan terutama dengan daerah-daerah di sebelah Timur dari daerah kekuasannya.

Seperti telah disebutkan di atas, berdasarkan sarakata yang diterima kakek buyutnya, beliau merasa bahwa daerah-daerah di sebelah Timur tersebut perlu direbut kembali, jika perlu dengan kekerasan.

Sebetulnya tuntutan ini tidaklah tanpa alasan; Sawang, ketika mulai dipenuhi oleh penduduk, pernah menjadi bagian dari daerah Peusangan; Blang Panjang yang dipimpin oleh cucu dari T. Tji Lampoe Oee, T. Bintara Keumangan, sudah pasti merupakan bahagian yang tunduk pada Peusangan dulunya, begitu juga daerah dataran rendah di Nisam. Tuntutannya terhadap Gloempang Doewa, Tjoenda dan Dataran Tinggi Nisam sepenuhnya hanya berdasarkan kalimat dari sarakata tersebut, sehingga sebetulnya tidak memiliki nilai apapun.

Terhadap Pemerintah (Gouvernement) T. Tji selalu bersikap mendua. Walaupun telah menyetujui suatu kesepakatan, jika ia mempunyai kepentingan lain, maka tak akan pernah dipatuhinya. Dia bersikap mandiri dan sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak mematuhi perintah yang diberikan kepadanya, tetapi hanya meneruskan keinginan dirinya sendiri. Permasalahan ini tidak pernah terselesaikan dan masih menunggu hingga tahun 1898 ekspedisi (pengiriman) pasukan ke daerah kekuasaanya sesuai dengan ancaman yang telah diberikan 20 tahun sebelumnya (!)

Tak lama setelah beliau menanda-tangani Akte Pengakuan Tunduk, beliau mengambil sikap permusuhan dan menghindar dari kewajiban terhadap penguasa. Untuk itu di awal tahun 1878 terhadapnya diberlakukan aturan paksa, dimana untuk setiap pemasukan dan pengiriman barang dikenakan pajak yang pelaksanaannya dilakukan di atas kapal perang yang berlabuh dekat Koewala Djangka.

Karena aturan ini juga tidak memberi hasil, Pemerintah memutuskan akan menarik pasukan yang sedang melakukan ekspedisi ke Geudong untuk segera dikirim ke Peusangan. Sebagai akibat dari perlawanan Habib Abdo Rahman di Atjeh Besar, rencana ini tidak jadi terlaksana, karena pasukan harus segera ditarik dan dikirim ke Atjeh Besar. Setelah dua kali gagal memberikan ultimatum pada T. Tji untuk datang menyerah, maka Keude’ Djangka dihujani dengan bom hingga terbakar, dan setelah itu pantainya diblokade.

Sebagai akibat dari blokade ini, maka T. Tji oleh para pimpinan menengah disingkirkan dan dianggap bukan lagi sebagai pimpinan pemerintahan. Para pimpinan menengah ini kemudian bersama adiknya yaitu T, Mahradja Djeumpa, yang telah kita (pemerintah Belanda, penterjemah) angkat menjadi oeleebalang Peusangan pada tanggal 10 Agustus 1878, berangkat ke Koeta Radja. Sepuluh hari kemudian blokade Peusangan dihentikan.

Sekalipun T. Tji telah dinyatakan mundur, ditambah penanda tanganan pernyataan tidak lagi menuntut posisi sebagai ulebalang pada bulan Januari 1880, tetapi tetap saja dalam kenyataannya tidak demikian. T. Mahradja Djeumpa tidak memiliki pengaruh apapun, dan T. Tji tetap saja dianggap sebagai pimpinan yang syah oleh penduduk.

Di tahun 1880 beliau memerangi Gloempang Doewa, dimana benteng pertahanannya ditembaki oleh kapal perang. Tak lama kemudian seorang Cina yang telah memeluk agama Islam bernama Osman dari Peusangan ditangkap dan dipenjara oleh penguasa Gloempang Doewa. T. Tji memohon bantuan dari pemerintah (Belanda), yang menerimanya karena melihat kesempatan ini sebagai suatu langkah untuk dapat berhubungan kembali dengan beliau. Sebagai akibat dari negosiasi ini, maka T. Tji dipaksa kembali “tunduk”, dan bersama dengan T. Mahradja Djeumpa diharuskan menghadap ke Koeta Radja. Pada tanggal 14 Nopember beliau bersumpah dan menanda-tangani pernyataan 18 artikel sebagai syarat pengakuan kembali beliau oleh kita (Belanda) sebagai oelebalang Peusangan. T. Mahradja Djeumpa, yang turun dari kekuasaan, diangkat menjadi Radja Moeda dengan mendapatkan ¼ penghasilan kerajaan, ditambah ketentuan, apabila T. Tji nanti wafat tanpa berputra, maka ia akan diangkat sebagai Oeleebalang. Dan apabila T. Tji memiliki putra, maka T. Mahradja Djeumpa akan memerintah sampai anak tersebut dewasa…. bersambung

Reference : http://peusangan.wordpress.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "THE HISTORY of ULEEBALANG KEUDJROEEN PEUSANGAN Bag. I"